Belitung yang dulunya dikenal dengan Billiton merupakan nama dari sebuah Pulau di provinsi Bangka Belitung, Indonesia.
Pulau yang berada di bagian Timur Sumatra ini terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Belitung dan Belitung Timur.
Di pulau ini, ada sebuah cerita rakyat yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang ingin membunuh anaknya namun tak pernah behasil.
Dikisahkan, di sebuah desa di pulau Belitung, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Namun, walaupun miskin mereka tetap rukun dan bahagia.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut belum terasa lengkap karena mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
Karena itulah, setiap malamnya mereka berdua selalu berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar dikaruniai seorang anak.
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak, walaupun sebesar kelingking!” itulah doa yang selalu mereka panjatkan.
Lalu, suatu hari istrinya hamil dan sepasang suami istri tersebut tentu saja sangat senang karena mereka tak lama lagi akan mendapatkan seorang anak.
Lalu, beberapa bulan kemudian istrinya melahirkan. Namun, betapa terkejutnya mereka karena melihat bayinya hanya sebesar kelingking. Karena itulah, mereka menamai anak mereka dengan kelingking.
“Bang! Kenapa anak kita kecil sekali bang?” tanya istrinya sedih. Suaminya hanya terdiam seakan tak percaya. Ia lalu teringat sesuatu.
“Dik! Ingatkan doa kita selama ini? bukankah kita selalu berdoa agar diberikan anak walaupun sebesar kelingking?” kata suaminya.
“Oh iya, rupanya Tuhan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita.” Kata sang Istri. Mereka pun merawat anak itu dengan sebaik – baiknya.
Si Kelingking mempunyai kebiasaan aneh. Walaupun badannya sangat kecil, tetapi si Kelingking mampu menghabiskan makanan yang banyak.
Orang tuanya jadi sering kerepotan. Mereka miskin. Untuk makan sehari-hari saja susah. Ditambah kerakusan si kelingking maka kesabaran mereka jadi hilang.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuang jauh-jauh Si Kelingking. Pada suatu hari, sang ayah mengajak si Kelingking ke hutan untuk mencari kayu.
Setibanya di tengah hutan, sang ayah segera menebang pohon besar yang diarahkan kepada anaknya. Beberapa saat kemudian, pohon besar itu pun roboh menimpa si Kelingking.
Setelah memastikan dan yakin anaknya mati, sang ayah segera kembali ke rumahnya. Mendengar cerita suaminya, sang istri pun menjadi lega, Mereka upa bahwa perbuatan membunuh anak mereka sendiri adalah tercela.
“Bang! Mulai hari ini, hidup kita akan jadi tenang,” kata sang istri kepada suaminya. Baru saja kata-kata itu terlontar dari mulut istrinya, tiba-tiba terdengarsuara terjakan dari luar rumah. “Ayah !Ayah ! Diletakkan di mana kayu ini?” Suara keras terdengar dari luar rumah.
Istrinya pun bertanya penuh rasa heran, “Bang! Bukankah anak Itu sudah mati?” tanya istrinya heran. “Ayo, kita keluar melihatnya!” seru sang suami penasaran.
Mereka sangat terkejut melihat si Kelingking sedang memikul sebuah pohon besar di pundaknya. Setelah meletakkan kayu itu, si Kelingking langsung mencari makanan di rumahnya.
Karena merasa kelaparan, ia pun menghabiskan sebakui nasi. Sementara ayah dan ibunya hanya duduk terbengong-bengong melihat anaknya, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Walaupun sudah beberapa kali disingkirkan, namun si kelingking tetap embali lagi. Ketika melihat si Kelingking begitu lahapnya makan dan seolah tak pernah tahu niat jahat orang tuanya, akhirnya mereka sadar.
Si Kelingking adalah darah dagingnya, sudah seharusnya ia dipelihara dengan baik. Sejak saat itu, mereka menerima keadaan si Kelingking apa adanya.
Ternyata keberadaan si Klingking sangat berguna, dengan tenaganya yang besar, si Kelingking mampu melakukan pekerjaan yang berat. Pada akhirnya kehidupan mereka menjadi lebih baik, si Kelingking menjadi sumber tambahan penghasilan keluarganya.
Komentar Terbaru